DAYA NUSANTARA — Saat pemerintah pusat mulai merombak kebijakan fiskal nasional dengan cara mengoptimalkan pengeluaran daerah dan merubah alokasi transfer ke daerah (TKD) menjelang tahun 2026, banyak pemimpin daerah di Indonesia merasa khawatir. Kebijakan ini memaksa daerah untuk beradaptasi dengan anggaran yang lebih terbatas, meskipun kebutuhan untuk pembangunan masih terus bertambah.
Namun, Bupati Penajam Paser Utara (PPU), H. Mudyat Noor, tidak merasa demikian. Dalam menghadapi tekanan fiskal nasional, ia justru memanfaatkan momen ini untuk menciptakan strategi pembangunan baru — yang oleh beberapa pengamat mulai disebut sebagai “Mudyatnomics”, menggambarkan cara unik Mudyat Noor dalam mengelola pembangunan di PPU.
Baginya, efisiensi bukanlah penghalang untuk terus bergerak. Justru, ia menganggap terbatasnya anggaran sebagai kesempatan untuk memperkuat kerjasama, memperluas kolaborasi, dan mengajukan program pembangunan secara langsung kepada kementerian dan lembaga pusat.
“Ketika daerah lain fokus menyesuaikan pengeluaran, kita malah mempercepat langkah. Kuncinya adalah membangun komunikasi dengan berbagai kementerian, berkolaborasi dengan DPR RI, dan memastikan PPU mendapat alokasi dalam proyek nasional, khususnya yang berkaitan dengan IKN,” kata Mudyat Noor beberapa waktu lalu.
Kebijakan penghematan belanja yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat memang cukup menantang bagi banyak daerah. Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian pada rapat koordinasi pemerintah se-Sumatera di Batam 21 September 2025, menekankan pentingnya kepala daerah untuk melakukan pengawasan yang ketat terhadap pengeluaran operasional daerah.
Ia mengingatkan bahwa adanya pengalihan sebagian dana TKD sebesar Rp693 triliun mengharuskan daerah untuk lebih selektif dalam menggunakan anggaran, memastikan setiap rupiah memberikan dampak positif bagi kesejahteraan masyarakat.
“Belanja pegawai harus tetap dibayarkan, tetapi biaya operasional bisa diselewengkan, bisa dinaikkan harga. Hal ini perlu diawasi,” tegas Tito dalam penjelasannya.
Tidak hanya mendorong efisiensi, Tito juga meminta pemerintah daerah memanfaatkan program-program strategis nasional yang totalnya mencapai Rp1. 376 triliun — mulai dari revitalisasi pendidikan, program Makan Bergizi Gratis (MBG), pembangunan jembatan, hingga penguatan ketahanan pangan daerah.
Arahan dari Mendagri tersebut tampaknya diresapi dengan baik oleh Bupati Mudyat Noor. Alih-alih mengeluhkan berkurangnya ruang anggaran, ia justru segera mengambil langkah. Dalam beberapa bulan terakhir, Pemkab PPU aktif melakukan audiensi dengan berbagai kementerian, termasuk Kementerian PUPR, Kementerian Kesehatan, hingga Kementerian PPN/Bappenas.
Langkah ini dimaksudkan sebagai strategi “jemput bola” agar program pembangunan nasional dapat langsung dirasakan di wilayah PPU, terutama sebagai daerah pendukung utama Ibu Kota Nusantara (IKN).
“Jika kita hanya menunggu anggaran daerah, pasti tidak akan cukup. Namun, jika kita aktif dalam berkomunikasi dan memberikan data serta perencanaan yang jelas, kementerian akan percaya dan bersedia membantu,” ungkap Mudyat Noor.
Pendekatan ini bukan sekadar diplomasi politik, melainkan juga taktik pembangunan yang berlandaskan kerjasama antar sektor. Dengan dukungan dari DPR RI, khususnya anggota dari Kalimantan Timur, Mudyat berhasil memastikan bahwa beberapa proyek strategis nasional juga melibatkan PPU.
Mudyat memahami bahwa efisiensi bukan hanya berkaitan dengan pengurangan pengeluaran, tetapi juga dengan menata kembali prioritas agar setiap rupiah dapat memberikan manfaat pembangunan yang maksimal. Ia mendorong pegawai di Pemkab PPU untuk mengubah pola pikir birokratis menjadi lebih produktif dan kolaboratif.
“Kami ingin efisiensi yang berwawasan ke depan. Bukan berhenti karena keterbatasan dana, tetapi justru mencari cara baru agar pembangunan tetap berjalan. Pemerintah daerah harus gesit dan kreatif,” tegasnya.
Dalam konteks ini, “Mudyatnomics” mulai tampak dengan jelas: kebijakan yang berfokus pada efisiensi, keberanian dalam diplomasi, dan kemitraan strategis.
Kebijakan yang berlaku secara nasional yang mengedepankan efisiensi keuangan jelas memberikan tantangan tersendiri bagi daerah yang baru seperti Penajam Paser Utara. Namun, di bawah kepemimpinan Mudyat Noor, keterbatasan ini justru diubah menjadi pendorong untuk melakukan transformasi.
Ia menggabungkan usaha keras di tingkat lokal dengan hubungan yang aktif di pusat. Kerja sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat dan kementerian lebih dari sekadar proyek; ini juga menciptakan citra PPU sebagai mitra dalam pembangunan nasional yang siap mendukung visi besar Indonesia Maju melalui IKN.
Dengan pendekatan baru ini, PPU tidak hanya berupaya untuk bertahan dalam situasi efisiensi, tetapi juga mulai menunjukkan kemampuan untuk berkembang dan beradaptasi dengan bijaksana.
Filosofi Mudyatnomics sekarang menjadi lambang perubahan cara pandang dalam pembangunan daerah — bahwa kemandirian dapat tumbuh bukan karena banyaknya dana, melainkan melalui strategi, tekad, dan kepemimpinan yang berani mengatasi hambatan birokratis.***
